Sabtu, 29 Oktober 2011

“Filsafat Atonomis Logis, Wittgenstein”

A. Riwayat Hidup Wittgenstein

Ludwing Wittgenstein dilahirkan di Wina (Austria) pada tanggal 26 April 1889. Ia dilahirkan dari seorang ayah yang merupakan keturunan Yahudi lalu memeluk agama Kristen Protestan, dan juga merupakan seorang insiyur yang dalam jangka sepuluh tahun berhasil menjadi pemimpin suatu industri baja yang besar.

Sedangkan ibunya, adalah pemeluk agama Katolik. Kedua orang tua mempunyai agama yang berbeda, namun keduanya orang tuanya sama-sama memiliki bakat tentang tentang musik, dan atas bakat kedua orang tuanya menjadikan rumahnya sebagai semacam pusat musik, dan pernah dikunjungi oleh Johannes Brahms, seorang ahli dalam musik, dan ikut memberikan pengaruh dalam kehidupan Wittgenstein.

Tentang Wittgenstein sendiri, merupakan seorang anak bungsu dari delapan saudara yang bersekolah di Sekolah Tinggi Teknik di Berlin pada tahun 1906. Dan sesudah dua tahun Wittgenstein mengenyam pendidikan Teknik, ia pun melanjutkan studi di Manchester (Inggris) tepatnya pada tahun 1908. Di sekolahan itu, ia melakukan riset dalam bidang teknik pesawat terbang, khususnya mesin jet dan baling-baling.

Dalam melakukan riset baling-baling diperlukan pemahaman tentang matematika, maka perhatiannya terhadap matematikan semakin membuat dia tertarik. Dan tak hanya matematika saja, ia pun mulai tertarik pada filsafat matematika.

Atas ketertarikannya kepada bidang matematika, ia berupaya untuk melakukan konsultasi perihal tersebut. Dan hal itu terjadi pada tahun 1911, dengan seorang ahli matematika yang berasal dari Jerman dengan nama G. Frege.

Tak hanya terjadi konsultasi antara Wittgenstein dengan G. Frege, G. Frege menyarankan agar Wittgenstein belajar kepada Bertrand Rusel di Cambridge. Akhirnya Wittgenstein memasuki Universitas Cambridge pada tahun 1912. Dan di sana, ia mulai belajar filsafat di bawah bimbingan Russell. [1]

Dan Russell tak hanya berperan sebagai guru Wittgenstein yang mengenalkan tentang konsep Atonomis Logis, ia juga berperan sebagai sahabat. Namun, meskipun demikian terkadang sosok muridnya dapat memberikan pengaruh bahkan bertolak belakang terhadap gurunya. Salah satu bentuk dari persahabatan, dan pertentangan terhadapa gagasan dapat terlihat dalam ungkapan Russel pada kata pengantar buku Wittgenstein. Karyanya yang terbit dalam majalah ‘Annalen der Naturphilosphie’ pada tahun 1912 dengan judul ‘Logisch Philosophische Abhandlungen’ (ulasan-ulasan dan filosofis). Dan pada tahun berkutnya Bertand Russel kembali menulis kata pengantar dalam karya Wittegenstein. Namun, dalam karya tersebut, Russel kurang menyetujuinya.[2]

Pada tahun 1912, ia mendapatkan warisan kekayaan besar dari ayahnya yang meninggal. Tetapi ia memberikan semua kekayaan itu kepada orang lain (antara lain seniman-seniman). Dan ia sendiri hidup dalam kesepian dalam sebuah pondok yang dibangun dengan tangannya sendiri di Norwegia.

Dan saat Perang Dunia 1 pecah, Wittgenstein pulang ke tanah airnya, lalu ia masuk tentara Autria. Selama ia menjadi tentara banyak tugas yang diemban olehnya, adapun tugas tersebut antara lain, ia ditugaskan untuk mendatangi di front timur dan front selatan. Selama ia menjalankan tugas, ia juga menulis buku tentang filsafat yang selesai pada tahun 1918.

Pada tahun itu juga, ia menjadi tawanan perang oleh tentara Italia. dan tatkala ia berada di penjara, ia telah berhasil mengirimkan sebuah kopi naskahnya ke sahabatnya, yakni Russell dan Frege. Dan pada tahun 1919, Wittgeinsten berhasil dibebaskan dari penjara melalui perantara Russell.

Dan masih pada tahun yang sama, Wittgeinsten berjumpa dengan Russel di Den Haag (Negeri Belanda). Dalam pertemuan mereka, mereka membahas tentang karya Wittgeinstein. dan akhirnya karya tersebut berhasil diterbitkan pada tahun 1921. Sebuah karya yang terbit dalam sebuah manjalah Annalen der Naturphilosophie dengan judul “Logischphilophische Abhandlungen” (Ulasan-ulasan logis dan filosofis).

setahun kemudian terbitan tersebut diterbitkan kembali bahkan diterjemahkan ke dalam bahas Inggris di samping bahasa Jerman yang asli. Pada edisi ini disettai kata pengantar oleh Russell dengan judul Tractatus logico philosophicus.

Dan akhirnya pada tahun 1979, Wettgeinsten berhasil menerbit sebuah buku dengan judul Tractatus. Atas terbit buku tersebut, Wittgeinsten mengagap karirnya sebagai filsuf telah usai. Iapun melanjutkan kegiatan dengan mengikuti kursus untuk memperoleh ijazah guru. Dan tahun 1926 ia berhenti menjadi guru dan melanjutkan sebagai tukang kebun di biara Hutteldorf dekat Wina.

Pekerjaan yang ia kerjakan tak bertahan terlalu lama, hanya bertahan selama dua tahun. Pada tahun ini ia hidup dalam kesepian mendiami rumah yang dibangun untuk adik perempuannya. Sebuah rumah yang dibangun oleh arsitek lalu ia kerjakan sendiri.

pada tahun 1929 ia kembali ke Cambridge, di sana ia mendapatkan gelar doktor filsafat dan ia mulai mengajar di Trinity College. Untuk gelar doktor yang ia dapat, dikarenakan berdasarkan buku yang ia ciptakan dengan judul Tractatus. Sekembalinya ia ke Cambridge berbarengan dengan perkembangan baru dalam pemikiranya.

Akhirnya, ia mengadakan diskusi dengan Frank Ramsey, seorang ahli matematika dan filsuf, dan Piero Sraffa, seorang ahli ekonomi yang mengajar di Cambridge. Dan tahun 1936 ia kembali tinggal di Norwegia, di sana ia mulai mengerjakan sebuah buku kembali, buku yang diterbitkan dengan judul Philosophical investigations.

Pada tahun 1937 ia menggantikan Moore sebagai professor di Trinity College. Dan kala mencetusnya Perang Dunia II, ia menjadi sukarelawan di suatu rumah sakit di London dan Newcastle. Dan tahun 1944 ia melanjutkan kuliahnya di Cambridge, tetapi tugas mengajar yang dirasakan berat olehnya, ia pun memutuskan untuk meninggalkan professor, dan memilih untuk menyelesaikan Philosophical investigations.

Dan akhirnya ia pergi untuk selamanya, tepatnya pada tahun 29 April 1951. Kematian yang disebabkan oleh penyakit kanker. Selama perjalan hidupnya, ia telah banyak mengalami depresi psikis dan beberapa kali ia mempertimbangkan untuk bunuh diri. Pada dasarnya, ia hidup selalu diambang penyakit jiwa dan dirinya selalu dihantui oleh perasaan takut akan penyakit tersebut. [3]

B. Sekilas sejarah perjalanan Atonomis Logis

Nama dari Atonomis logis sendiri merupakan sebuah gagasan yang diungkapan oleh Bertand Russel. Seorang filosof yang merupakan teman dekat dan sekaligus sekaligus berperan sebagai guru Wittegenstein. Meskipun demikikan, terkadang sosok muridnya dapat memberikan pengaruh bahkan bertolak belakang terhadap gurunya, hal tersebut, nampak terlihat dalam ungkapan Russel pada kata pengantar buku Wittgenstein. Karyanya yang terbit dalam majalah ‘Annalen der Naturphilosphie’ pada tahun 1912 dengan judul ‘Logisch Philosophische Abhandlungen’ (ulasan-ulasan dan filosofis). Dan pada tahun berkutnya Bertand Russel kembali menulis kata pengantar dalam karya Wittegenstein. Namun, dalam karya tersebut, Russel kurang menyetujuinya.[4]

Tentang kemunculan aliran tersebut, berawal sekitar permulaan abad XX, tepatnya di Cambridge Inggris yang dirintis oleh G.E. Moor (1873-1958) dan memberikan banyak pengaruh yang besar terhadap kemunculan Atonomos Logis, meskipun ia bukanlah penganut aliran tersebut. Sebab Moor merupakan seorang filosof analitik, dan sebagai analisis ia berpendapat bahwa tugas filsafat adalah memberikan analisis yang tepat tentang konsep atau proposisi, yaitu menyatakan dengan jelas dan tepat apa yang dimaksudkan dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi dalam ilmu filsafat. Dan dalam pengembangannya, dikembangkan oleh Bertand Russel sekaligus pencetus aliran Atonomis Logis.[5]

Memang untuk berbicara mengenai Atonomis Logis sendiri tak terpisahkan dari Analitik Bahasa. Analitik Bahasa yang kehadirannya merupakan sebuah reaksi ketidakpuasan (penolakan) terhadap pemikiran filsafat modern. Ketika para penganut filsafat modern memperdebatkan persoalan kebenaran, yakni aliran rasionalis, empiris, dan ditambah dengan pemikiran Imanuel Kant.

Ketidak puasan terhadat para aliran tersebut, membuat hadirnya para tokoh yang mencoba memecahkan dan menjelaskan problema-problema serta konsep-konsep filsafat melalui anilisi bahasa. Bahkan penolakan secara tegas dilakukan oleh positivisme logis yang hendak menghapus metafisika.

Dengan demikian, pada akhirnya persoalan bahasa menemukan kekokohan pada zaman modern, pada abad XX. Namun, adapun mengenai pembasannya, pada dasar telah terjadi jauh sebelum abad ke XX, yaitu ketika zaman pra Sokrates dengan salah satu tokohnya, yakni Herakleitos yang membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta.

Dalam pemikiran Herkleitos dengan minatnya terhadap fenomenal. Dalam pandangannya, ia mengukapkan atas penolakan, bahwa di atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi “ada” yang murni. Meskipun demikian, ia merasa tidak puas dengan fakta perubahan saja yang pada akhirnya mambawa kepada prinsip perubahan.

Dengan demikian, bahwa prinsip perubahan menurutnya tidak ditemukan dalam benda material, melainkan dunia manusiawi, maka dalam hal ini kedudukan dunia manusiawi berupa kemampuan berbicara menduduki tempat yang sentral.

Oleh karena itu, dalam pengertian tersebut menjadikan medium bahasa bersifat sentral, bahkan “kata” (logos) mengandung mengandung kebenaran universal, sebagaimana ungkapanya “Jangan dengar aku“, “dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda itu satu”.[6]

Selanjutnya perjalanan Atomis logis berlanjut pada zaman Sokrates dengan metode retorika, sehingga analisis bahasa berkembang menjadi menjadi metode “dialektis kritis”. Dan objektivitas kebenaran filosfis perlu diungkapkan dalam suatu analisis bahasa secara dialektis dengan didasarkan pada dasar-dasar logika.

Lalu diturunkan pada Plato, dan Aristoteles dengan perhatianya terhadap bahasa. Dan untuk selanjutnya bahasa mendapatkan respon oleh kaum Patristik dan Skolastik yang mengukapkan persoalan Teologi dengan berupaya untuk mendiskripsikan secara ontologik dengan ungkapan-ungkapan bahasa. Hal ini, terutama dilakukan oleh salah satu wakil dari kaum Patristik dan Skolastik, yakni Thomas Aguinas yang mengakat Teologi ke tingkat filosofis, sehingga mampu memjembatani atara realitas Tuhan dengan manusia.[7]

C. Wittgenstein mengenai Atomis Logis

Gagasan Wittgentein mengenai atomisme logis termuat dalam sebuah karya yang berjudul Tractatus Logico Philosophicus, buku pertama ini yang merupakan visi dasar atomis logis. Setelah itu, setahun kemudian pemikiran berlanjut kepada kemurtadan terhadap doktrin atomis logis sendiri, dengan karyanya yang berjudul philosphical investigations. Hal ini, disebabkan ia telah menemukan kebenaran baru.

  1. Karya pertama: Tractatus loggico-philosphicus.

Dalam karya tersebut tidak terlalu panjang, tidak lebih dari 75 halaman saja. Dan dalam buku ini terdiri dari pernyataan-pernyataan yang agak pendek. Susunannya diatur sedemikian rupa sehingga terdapat tujuh dalil pokok yang dibagi-bagi menurut sistem desimal.[8]

Mengenai karya yang pertama, sebuah buku yang berbicara tentang bahasa, atau lebih tepat lagi jika dikatakan buku ini berbicara tentang logika bahasa. Dalam buku pertama, ia masih sependapat dengan sahabat dan sekaligus berperan sebagai guru, bahwa tugas utama filsafat adalah memberikan analisis logis dan disertai dengan sintesa logis. Dan selain itu, terdapat hal-hal yang menjadi pokok dalam pemikiranya, antara lain:

1. Peranan Logika Bahasa

Dalam karya tersebut, ia menjelaskan bahwa filsafat bertujuan untuk penjelasan logis dari pikiran. Sebab filsafat sebenarnya bukanlah merupakan suatu kumpulan ajaran-ajarang atau doktrin-doktrin, melainkan suatu kegiatan atau aktivitas. Dan sebuah karya filsafat pada pokoknya terdiri atas penjelasan-penjelasan serta uraian-uraian. Oleh karena itu, dalam karya tersebut, ia menuangkan gagasan tentang peranan logika bahasa, hal ini tak lain bertujuan untuk menghilangkan problem-problem yang selama ini terjadi di filsafat. Hal itu terjadi, dikarenakan para tokoh filsafat terdahulu tidak mengerti logika bahasa. Atas persoalan tersebut, sehingga membuat kekaburan bahasa filsafat yang tidak menggunakan tolak ukur yang jelas sehingga dapat menentukan apakah suatu ungkapan filsafat itu bermakna atau tidak.

2.Pemikiran Filosofi Tractatus

Dalam pemikirannya, ia menyusun suatu kerangka bahasa yang memenuhui struktur logika bagi uraian-uraian dan pemecahan problema-problema filosofis. Maka dalam pemikiran karya yang pertama, ia mempunyai konsep pertanyaan-pertanyaan yang secara logis memiliki hubungan. Ada pun pertanyaan-pertanyaan tersebuat adalah:

Pertama: dunia itu tidak terbagi atas benda-benda melainkan terdiri atas fakta-fakta, dan akhinya terbagi menjadi kumpulan fakta-fakta atomis yang tertentu secara unik (khas)

Kedua : setiap proposisi itu pada akhirnya melarut diri, melalui analisis, menjadi fungsi kebernaran yang tertentu secara unik (khas) dari sebuah proposisi elementer, yaitu setiap proposisi mempunyai analisi akhir

Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akhirnya diperjelas kembali secara logis, adapun pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

Pernyataan yang pertama

1. Dunia itu adalah semua hal yang adalah demikian

(The world is all that is the case).

1.1. Dunia itu adalah keseluruhan dari fakta-fakta, bukan dari benda-benda.

(The world is the totality of fact not of thing).

1.2. Dunia itu terbagi menjadi fakta-fakta (kenyataan-kenyataan)

(The world devides into facts).

  1. Apa yang merupakan kenyataan yang demikian itu, sebuah fakta adalah keberadaan suatu peristiwa.

(What is the case, a fact is the existence of states of affairs). [9]

Menganai kata untuk fakta itu sendiri, Wittgenstein mengukapkan, bahwa fakta adalah suatu peristiwa atau suatu keadaan dan suatu peristiwa itu adalah kombinasi dari benda-benda atau objek-objek bagaimana hal itu berada di dunia, atau benda-benda itu bukanlah bahan dunia, namun objek-objek itu merupakan subtansi dunia.

Dengan kata lain, bahwa sebuah fakta itu adalah suatu keberadaan peristiwa, yaitu bagimana objek-objek itu memiliki interrelasi, hubungan kausalitas, kualitas, aksi, kuantitas, ruang, waktu dan keadaan. Sebagai salah satu contoh dari ungkapannya berupa ruang kuliah, ruang kuliah itu bukanlah hanya objek-objek saja seperti empat dinding, dua pintu, sepuluh jendela, dan plavon, melainkan suatu peristiwa bagimana kedudukan pintu itu di antara dinding, letak jendela di depan pintu pertama, enam jendela terletak di sebelah kiri, dan empat jendela terletak di sebelah kanan.

Maka dalam hal ini, ia mencoba menjelaskan bahwa sebuah dunia yang teridiri dari atas fakta-fakta dan dapat dijelaskan dalam arti hubungan antar satu dengan yang lainnnya, dan dunia itu merupakan keseluruhan dari fakta. Dan totalitas fakta itu sangat kompleks dan terdiri dari atas fakta-fakta yang kurang kompleks lagi, demikian seterusnya sehingga kita kepada fakta-fakta yang sudah tidak dapat diredusir atau dikurangi lagi. Fakta-fakta ini adalah fakta yang terkecil sehingga disebut sebagai fakta atomis. [10]

  1. Struktur Logika Bahasa

Dan untuk selanjutnya, Wittgensten mengkonsep tentang logika bahasa untuk mengukapkan realitas dunia. Untuk hal itu ia kembali menguraikan dengan pertanyaan-pertanyaan, sebagaimana ia mempertanyakan mengenai fakta itu sendiri. Dalam pertanyaan-pertanyaan mengenai struktur bahasa sendiri berupa:

  1. Sebuah gambaran logis dari suatu kenyataan itu adalah sebuah pikiran

3.1 Di dalam sebuah proposisi sebuah pikiran mendapatkan sebuah ungkapan yang dapat diamati oleh indra.

3.2 Di dalam sebuah proposisi sebuah pikiran dapat diungkapkan sedemikian rupa sehingga unsur-unsur dari tanda proposisi berkesesuaian dengan objek dari pikiran

3.21. Sebuah proposisi hanya mempunyai satu analisis yang lengkap

3.3. Proposisi yang mempunyai makna adalah proposisi yang berhubungan dengan sebuah nama, dan nama itu bermakna manakala dalam hubungan dengan proposisi.

4. sebuah pikiran adalah sebuah proposisi yang bermakna.

4.001. Jumlah keseluruhan (totalitas) dari proposisi itu adalah bahasa.

4.01. Sebuah proposisi itu adalah suatu gambaran realitas (kenyataan). Sebuah proposisi itu adalah sebuah contoh (model) dari kenyataan (realitas) yang kita banyangkan.[11]

Dan pada akhirnya suatu proposisi sampai pada tahapan paling dasar, yang mana proposisi itu sampai pada tahap tidak dapat dianalisi lagi, dan hal ini menjadi dasar proposisi. Dan untuk menganalisis suatu proposisi hingga sampai tahapan paling dasar, sebagaimana fakta atomis, yakni sebuah fakta yang tidak terdiri atas fakta-fakta lebih lanjut dan lebih asasi. Bagian-bagian dari proposisi sebagai bagian terakhir. (bagian terkecil).

Wittegenstein kemudian berpendapat bahwa setiap proposisi itu harus dapat dianalisis menjadi proposisi dasar, karena masuk akal bilamana kita mengagap bahwa hanya dasarlah yang bebas dari segala macam makna ganda dari segala kemungkinan salah paham atau salah arti.

Sebab proposisi dasar adalah sebuah bangunan akhir dari bahasa karena jumlah keseluruhan proposisi adalah bahasa (4.001). Proposisi dasar suatu proposisi yang seluruhnya terdiri atas nama-nama (4.22). Nama dalam pengertian ini memiliki pengertian teknis dan tidak digunakan dalam arti biasa, seperti nama orang atau nama sesuatu. Melainkan adalah sebuah tanda pertama (primitif) (3.26), semisal nama “Sokrates” bukanlah nama dalam pengertian teknis, karena Sokrates dapat didefinisikan sebagai seorang laki-laki, seorang filsuf Yunani yang hidup di Athena dan lain sebagainya. Dan nama ini bukanlah nama primitif. Nama primitif sendiri, Wittgenstein mencontohkan, “X”, “Y”, merah, biru, hijau.

Dan sebuah nama itu sendiri berarti suatu subjek atau objek, dan objek itu sendiri adalah maknanya (3.203). Dan proposisi yaitu proposisi dasar mengukapkan suatu perisitiwa , dengan kata lain sebuah proposisi dasar membenarkan suatu fakta-fakta karena sebuah fakta keberadaan suatu peristiwa (4.21).[12]

Dengan demikian Wittgenstein dalam mengukapkan realitas dunia dirumuskan dalam suatu proposisi-proposisi sehingga dengan demikian terdapat suatu kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan struktur realitas dunia.

4.Teori Gambar (Picture Theori)

Dalam teori gambarnya Wittgeinsten, menurut Von Wirght, salah seorang sahabatnya, ia mengatakan, bahwa fungsi gambar terletak pada kesesuan antara unsur-unsur gambar dengan unsur-unsur sesuatu dalam realitas. Mengenai realitas dalam pemikiran Wettgeinstein dalam mengukapkan realitas dunia terumuskan dalam suatu proposisi sehingga dengan demikian terdapat kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan struktur realitas dunia. Oleh karena realitas terungkap oleh bahasa maka bahasa pada hakikatnya merupakan suatu gambaran dunia. Mengenai hal ini, Wittgenstein mengukapan, bahwa:

“Sebuah proposisi adalah gambaran realitas (kenyataan) dunia. Sebuah proposisi itu adalah sebuah contoh (model) dari kenyataan (realitas) yang kita banyangkan” (4.01).

“Proposisi itu adalah gambaran realitas (kenyataan) dunia, maka jika saya memahami proposisi itu berarti saya memahami keadaan suatu peristiwa secara factual (fakta) yang dihadirkan melalui sesuatu proposisi tersebut. Demikian juga dengan mudah saya dapat memahami proposisi itu tanpa perlu dijelaskan lagi suatu pengertian yang terkandung di dalamnya (4.112.).”[13]

Maka dalam gambaran tersebut sangat ditekankan oleh Wittgenstein sehingga kita dapat membalik arti kiasannya (analogi) dengan mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah gambar karena ada hubungan kesesuaian antara unsur-unsur gambar itu dengan dunia fakta. Cara yang demikian dilakukan dengan menggambarkan kemungkinan mengenai keadaan factual suatu bentuk peristiwa.

Mengenai unsur-unsur gambar sendiri adalah sarana dalam bahasa, sebagaimana unsur-unsur bahasa misalnya kata, frase, klusa maupun kalimat. Adapun unsur-unsur realitas yaitu suatu keadaan faktual yang merupakan objek perbincangan dalam bahasa. Maka terdapat dua unsur utama yang mendukung teori gambar tersebut, yaitu:

1.Proposisi yang merupakan alat dalam bahasa filsafat.

2. dan fakta yang ada dalam realitas.

Untuk jenis propisisi yang paling sederhana disebut proposisi elementer yang merupakan penjelasan suatu bentuk keberadaan suatu peristiwa. Sedangkan untuk keseluruhan proposisi elemter tersebut merupakan suatu bayangan seperangkat benda atau hubungan antara benda di dunia., dan banyan-banyang itu kemudian menggiring benda atau hubungan antar benda itu menjadi semacam gambar timbul atau relief.

Oleh karena proposisi merupakan suatu gambaran keberadaan suatu peristiwa, maka keberadaan suatu peristiwa itu tidak dapat benar atau salah, adapun proposisi sebagai sarana merupakan suatu ungkapan bahasa yang menghadirkan bentuk peristiwa kepada kita itulah yang dapat dikenakan sebagai kualifikasi benar atau salah. (Bertens, 1981:44)

Atas dasar tersebut, maka sebuah proposisi memiliki dua macam kutub yaitu suatu proposisi mengandung kebenaran jikalau berkesesuaian dengan suatu keberadan peristiwa, dan sebaliknya sebuah proposisi mengandung suatu kesalahan manakala tidak berkesesuaian dengan keberadaan atau suatu peristiwa.[14]

  1. Tipe-tipe Kata (Words Types)

Dalam pembahasan mengenainya, Wittgenstein menyajikan pembahasan tersebut pada buku pertama lalu melanjutkan pada buku yang kedua. Terlepas hal tersebut, pada tipe-tipe kata tak lain bertujuan untuk menerapkan menerapkan metode analisis bahasa. pada tipe-tipe kata ini, Wittgenstein melakukan perbedaan pengertian konsep nyata, yaitu tipe kata yang termasuk memiliki acuan kongkrit seperti: meja, kursi, mobil, tongkat, bola dna lain sabagainya. Kedua tipe kata yang termasuk konsep formal, dan hal ini menurutnya bukanlah merupakan suatu konsep. Hal ini dikarenakan masuk dalam dalam pengertian variable, yaitu yang harus diisi oleh konsep nyata.

Dalam konsep formal tersebut misalnya, objek, kompleks, fakta, fungsi, angka, dan ada. Metode untuk untuk menentukan konsep formal yang seakan-akan merupakan suatu konsep nyata hal itu akan menimbulkan kekacauan. Dan hal ini juga pernah terjadi pada kekacauan yang diakibatkan oleh para filosof dalam penggunaan bahasa, yakni mencapuradukkan pemakaian konsep nyata dengna konsep formal.

b. Karya kedua: Philosphical Investigations

pada karya kedua, ia mulai bertolak belakang dengan gurunya, yakni Russell. Dalam karya ini, ia melanjutkan pemikiran pada tipe-tipe kata (word types) kepada language game, yang dalam kenyataanya visi dasar filosofinya sangat berbeda bahkan dapat dikatakan berlawanan. Sedemikiannya kiranya upaya Wittgenstein dalam mengembangkan bahasa ideal dalam konsep filsafat yang dalam kenyataannya bertolak dari dasar-dasar filosofisnya pada periode pertama yang mendasarkan pada struktur logis bahasa, adapun pada konsep filosofis pada periode kedua Wittgenstein mendasarkan pada language game.

  1. Pandangan Wittgenstein tentang Metafisika

Tak hanya pada bahasa, Wittgenstein memandang pada metafisika. Sebelum membahas tentang pandangannya terhadap metafisika, terlebih dahulu pada tahap yang pernah diungkapkan, yakni mengenai proposisi. Dalam pandangannya terhadap proposisi bahwa proposisi yang bermakna adalah proposisi yang menggambarkan realitas dunia yang memiliki struktur logis. Sehingga struktur dunia terlukiskan dalam struktur logis bahasa dan proposisi yang melukiskan suatu realitas dunia inilah yang merupakan suatu proposisi yang sejati.

Selain itu, terdapat proposisi-proposisi logika yaitu proposisi-proposisi yang mendasarkan pada prinsip logis yang yang kebenarannya bersifat tautologies-tautologis. Proposisi-proposisi logika itu bermakna akan tetapi tidak menggambarkan suatu realitas dunia karena tidak menggambarkan suatu keberadaan peristiwa dan kebenaran bersifat pasti.

Maka dari pandangan tentang teori gambar berimbas pada pad penolakan terhadap proposisi-proposisi metafisis. Hal tersebut dikarenakan proposisi tersebut tidak bermakna. Ketidakbermaknaannya disebabkan atas teorinya bahwa proposisi tersebut tidak mengukapkan apa-apa atau dengan kata lain bersifat “omong kosong”.

Dan tentu saja penolakan proposisi metafisika menurut atas nama “logika bahasa” . Menurutnya filsafat tidak merupakan suatu ajaran, melainkan suatu aktivitas. Tugas filsafat adalah menjelaskan kepada orang apa yang dapat dikatakan. pada akhirnya, ia memandang bahwa beberapa aspek yang “mitis”. Antara hal-hal yang melampui batas-batas bahasa disebutnya subyek, kematian, Allah, dan bahasa sendiri.[15]

Dan untuk mempertegas mengenai hal tersebut dapat terlihat Hal ini dapat terlihat dalam pandangannya, antara lain:

1) Karena bahasa merupakan gambar dunia, subyek yang menggunakan bahasa, tidak termasuk dunia. Seperti mata kita dapat diarahkan kepada dirinya sendiri, demikian juga subjek yang menggunakan bahasa tidak dapat mengarahkan pada dirinya sendiri.

2) Tidak mungkin juga berbicara tentang kematian sendiri, karena kematian tidak merupakan suatu kejadian yang dapat digolongkan antara kejadian-kejadian lain. Kematian kita seakan-akan memagari dunia kita, tetapi tidak termasuk di dalamnya. Kematian merupakan batas dunia dan karenanya tidak dapat dibicarakan sebagai suatu unsur dunia.

3) Juga Allah tidak dapat dipandang sebagai sesuatu dalam dunia. Tidak dapat dikatakan pula bahwa Allah menyatakan diri dalam dunia. Wittgenstein bermaksud bahwa tidak pernah suatu kejadian dalam dunia dapat dipandang sebagai “campur tang “ Allah. Sebab, kalau demikian, Allah bekerja sebagai sesuatu dalam dunia. Akibatnya kita tidak dapat bicara tentang Allah dengan cara yang bermakna.

4) Yang paling paradoksal ialah pendapat Wittgenstein bahwa bahasa tidak bisa bicara tentang dirinya sendiri. Bahasa mencerminkan dunia, tetapi suatu cermin tidak memantulkan dirinya sendiri. Karena itu Wittgenstein berkesimpulan bahwa orang yang mengerti Tractatus akan mengakui bahwa ucapan-ucapan di dalamnya tidak bermakna. Melalui bahasa si pembaca dihantark ke suatu titik di mana dia mengerti bahwa bahasa yang dihantarkannya tidak bermakna. Ia seakan-akan harus membuang tangga setelah memanjat dengannya, karena hanya sebagai alat belaka.[16]



[1] K. Bartens, Filsafat barat kontempore Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002), h. 41.

[2] Kaelan, Filsafat bahasa masalah dan perkembanganya (Yogyakarta: Paradigma, 1998), h. 106

[3] K. Bartens, Filsafat barat kontempore Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002), h.41-43

[4] Kaelan, Filsafat bahasa masalah dan perkembanganya (Yogyakarta: Paradigma, 1998), h., h. 106

[5] Kaelan, Filsafat bahasa masalah dan perkembanganya (Yogyakarta: Paradigma, 1998), h., h. 86

[6] Kaelan, Filsafat bahasa masalah dan perkembanganya (Yogyakarta: Paradigma, 1998), h. 77

[7] Kaelan, Filsafat bahasa masalah dan perkembanganya (Yogyakarta: Paradigma, 1998), h. 78

[8] K. Bartens, Filsafat barat kontempore Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002), h. 44

[9] Kaelan, Filsafat bahasa masalah dan perkembanganya (Yogyakarta: Paradigma, 1998), h. 110

[10] Kaelan, Filsafat bahasa masalah dan perkembanganya (Yogyakarta: Paradigma, 1998), h. 110-111

[11] Kaelan, Filsafat bahasa masalah dan perkembanganya (Yogyakarta: Paradigma, 1998), h. 111-112

[12] Kaelan, Filsafat bahasa masalah dan perkembanganya (Yogyakarta: Paradigma, 1998), h. 113

[13] Kaelan, Filsafat bahasa masalah dan perkembanganya (Yogyakarta: Paradigma, 1998), h.114

[14] Kaelan, Filsafat bahasa masalah dan perkembanganya (Yogyakarta: Paradigma, 1998), h. 116

[15] K. Bartens, Filsafat barat kontempore Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002), h. 48

[16] K. Bartens, Filsafat barat kontempore Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002), h.48-49